Oleh Dr Tiar Anwar Bachtiar MHum
Doktor Sejarah/Pakar Sejarah Islam
KOMUNISME sebagai bagian dari sejarah modern Indonesia tidak dapat dihapus. Selain telah menghiasi buku-buku yang ditulis para sejarawan, komunisme juga telah turut membentuk dinamika tersendiri dalam sejarah bangsa ini, bukan hanya pada saat kelahiran awalnya, bahkan setelah dinyatakan sebagai organisasi terlarang sejak tahun 1967 pun, komunisme tetap menjadi salah satu faktor penggerak dinamika berkebangsaan di negara ini.
Pada masa Orde Baru (1967-1998) isu komunisme menjadi sasaran pembersihan oleh Suharto. Mereka dikejar-kejar sampai ke liang biawak sekalipun. Apapun yang ada sangkut pautnya dengan komunisme dan partai pengusungnya pada masa lalu, yaitu PKI (Partai Komunis Indonesia) akan segera dilibas tanpa ampun. Para pelaku utama komunisme menghadapi hukuman keras, bahkan hingga eksekusi mati. Keluarga dan anak keturunannya jangan berharap dapat ikut dalam pemerintahan. Mereka dilarang daftar ABRI dan pegawai negeri. Satu-satunya jalan agar dapat bertahan hidup adalah menjadi petani dan pedagang.
Saat ramai-ramai RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang diusulkan Fraksi PDIP pada prolegnas 2020, banyak kalangan menghubungkan munculnya RUU ini dengan bangkitnya kembali PKI. Sama seperti pada saat PDIP mengusulkan pencabutan TAP MPRS No. XXV/1966 tentang Pembubaran PKI dan Pelarangan Penyebaran Paham Komunisme pada Sidang Umum MPR tahun 2003 silam, disinyalir PDIP disusupi mantan-mantan PKI. Kali inipun isu yang muncul di masyarakat dengan keukeuh-nya Fraksi PDIP mempertahankan RUU ini diduga disusupi oleh kekuatan neo-PKI. Apakah memang benar seperti itu?
Tulisan singkat ini akan berusaha menelusuri mengapa muncul anggapan seperti itu di tengah masyarakat dan mendudukkan masalah munculnya RUU HIP ini pada porsinya, terutama dilihat dari sudut pandang sejarah Indonesia modern.
Isu Kebangkitan PKI Pasca-Orde Baru
Pada saat tumbangnya Suharto yang sepanjang kekuasaannya bermusuhan dengan komunisme dan berusaha maksimal untuk memberangusnya, ternyata isu komunisme tidak otomatis hilang. Justru dengan bergulirnya Reformasi 1998, orang-orang kiri yang merasa terzhalimi ini mulai menampakkan diri seolah tanpa rasa takut. Orang-orang yang mengaku kiri dan diduga mewarisi perjuangan PKI seperti Budiman Sujatmiko, Dita Indah Sari, Wiji Tukhul, Andi Arief dan lainnya mendirikan Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada tahun 1996 dan ikut Pemilu 1999. PRD memang tidak pernah terang-terangan mengaku “komunis”, namun kecurigaan bahwa ini adalah neo-komunis disimpulkan dari aktivismenya. PRD yang pada saat berdiri merupakan singkatan dari Perhimpunan Rakyat Demokratik bergerak meniru gerakan PKI, yaitu menggalang kekuatan lewat para petani, buruh, seni-budaya, dan gerakan mahasiswa.
Pada sektor petani, PRD membentuk Serikat Tani Nasional (STN) dengan penggeraknya Sereida Tambunan, Mashuri, Linda Christyanti. Pada sektor buruh dibentuk Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) yang kemudian berubah menjadi Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) dengan motor penggeraknya Dita Indah Sari dan Bimo Petrus. Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKKER) yang dimotori Rahardja Waluy Djati dan Widji Thukul dibentuk untuk menyasar bidang kebudayaan dan kesenian. Sementara untuk menggalang mahasiswa dibentuk Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) yang digerakkan oleh Andi Arief, Munif Laredo, dan Garda Sembiring. Hampir pada semua sektor ini jargon-jargon yang dibunakan adalah jargon-jargon kiri yang mengingatkan pada gerakan PKI masa lalu.
PRD disinyalir menjadi penanda awal munculnya jaringan neo-PKI setelah runtuhnya Orde Baru, walaupun tuduhan ini ditolah oleh ketua PRD saat ini Agus Jabo Priyono. Saat peringatan 23 tahun PRD 22 Juli 2019 lalu seperti yang diberitakan cnnindonesia.com Agus menegaskan bahwa orgnaisasinya yang akan ikut Pemilu 2024 nanti tidak ada hubungan dengan PKI. Asas organisasinya pun sejak tahun 2010 adalah Pancasila. Ketua PRD dapat saja menampik, tapi stigma yang muncul setelah terendus pola-pola gerakannya bahwa organisasi ini merupakan salah saru bentu neo-komunisme di Indonesia sulit dihapuskan. Sebagian aktivisnya sekarang sudah berdiaspora ke berbagai partai. Budiman Sudjatmiko bergabung dengan PDIP. Andi Arief masuk ke Partai Demokrat. Sedangkan Dita Indah Sari pada 2019 lalu menjadi Caleg Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Dapil Sumatara Utara I. Dari ketiganya hanya Budiman yang lolos ke Senayan.
Indikator umum berikutnya yang sering dijadikan ciri bangkitnya neo-PKI adalah munculnya kembali mantan-mantan aktivis PKI seperti Bedjo Untung, anak-anak aktivis PKI seperti Ilham Aidit, Ribka Tjiptaning, Oki Asokawati, dan lainnya. Walaupun mereka tidak terlihat satu barisan saat terjun ke dunia politik, namun semuanya berani muncul menolak stigmatisasi negatif dan diskriminasi atas PKI dan anak keturunanya. Ribka Tjiptaning dengan sangat percaya diri menerbitkan buku Aku Bangga Menjadi Anak PKI (2002). Bedjo Untung lain lagi. Mantan aktivis Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) yang merupakan underbouw PKI sayap pelajar ini sempat dipenjara 9 tahun. Saat ini, ia mendirikan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 (YPKP 65) yang melakukan serangkaian penelitian dan publikasi untuk menegaskan bahwa PKI adalah korban kekejaman Orde Baru. Yayasan ini melaporkan pemerintah Orba ke Komnas HAM dan berkampanye ke mana-mana untuk meyakinkan publik bahwa PKI adalah korban, bukan penjahat. Gerakan semisal Bedjo Untung ini juga dilakukan oleh Ilham Aidit anak bungsu pentolan PKI DN Aidit. Ia mendirikan Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) yang menghimpun anak-anak dan cucu-cucu mantan-mantan aktivis PKI.
Mereka memang tidak pernah terang-terangan akan mendirikan kembali PKI atau partai dan gerakan serupa dengan haluan komunisme. Yang umumnya mereka kerjakan adalah mengadakan pertemuan-pertemuan mantan-mantan aktivis PKI dan anak keturunannya. Alfian Tanjung dalam berbagai ceramahnya selalu memastikan bahwa pertemuan-pertemuan semacam ini serius akan membangkitkan lagi PKI. Ia bahkan menyebut bahwa sudah berkali-kali diselenggarakan Kongres PKI setelah Reformasi 1998. Terakhir konon diselenggarakan di Pelabuhan Ratu Sukabumi Jawa Barat. Benarkah informasi yang disampaikan Alfian dalam berbagai ceramahnya di mana-mana dan terekam cukup banyak di laman youtube? Cukup sulit untuk mengkonfirmasinya, karena hingga saat ini hanya dari Alfian Tanjunglah informasi semacam ini didengar.
Ada beberapa kali pertemuan mantan PKI dan anak keturunannya yang sempat direkam oleh media. Misalnya, pada tanggal 24 Juni 2010 FPI Banyuwangi sempat membubarkan pertemuan mantan-mantan aktivis PKI di daerah Banyuwangi dan sekitarnya. Pertemuan ini bahkan dihadiri oleh tiga anggota DPR asal PDIP Rieke Diah Pitaloka, Ribka Tjiptaning, dan Nur Sahid. Ada lagi pertemuan para korban G30S/PKI yang dibubarkan masa. Kali ini terjadi di Padepokan Santhi Darma Sleman Yogyakarya pada 27 Oktober 2013. Pembubaran ini langsung dikecam oleh anggota DPR dari PDIP Eva Kusuma Sundari.
Selain pertemuan-pertemuan di atas, ada juga diskusi-diskusi terkait isu PKI yang memihak eks. PKI yang kemudian dibubarkan oleh masa. Di antaranya Lokakarya Eks. Korban PKI 1965 di Cianjur 14 April 2016 yang menghadirkan Bejdo Untung. Diskusi ini batal dilaksanakan karena protes massa. Berikutnya pada 3 Mei 2016 dibubarkan lagi cara Worl Press Freedom Day di Sekretariat Aliansi Jurnalis Indpenden Yogyakarta. Acara ini digerudu masa karena akan memutar film dokumenter pro-PKI berjudul “Pulau Buru Tanah Air Beta”. Pada 11 Mei 2016 Polisi Resort Grobogan Jawa Tengah menyita buku-buku pro-PKI dari toko-toko buku di Grobogan. Di Surabaya pada 16 Mei 2016 juga dilakukan sweeping buku-buku komunis di toko-toko buku di Surabaya. Berikutnya, diskusi Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/1966 yang diselengarakan oleh LBH Jakarta tanggal 16 September 2017 berakhir ricuh. Tanggal 17-18 berikutnya, massa mengepung kantor LBH ini karena kegiatan ini dituduh sebagai usaha membangkitkan lagi PKI. Peristiwa terakhir ini cukup menyita perhatian public hingga Karni Ilyas menyelenggarakan sesi khusus acara Indonesia Lawyers Club (ILC) di Tv One pada 19 September 2017 bertema “PKI, Hantu atau Nyata?” Berbagai tokoh dihadirkan, baik eks. PKI dan keturunanya, yang pro-PKI, maupun yang kontra PKI dan meyakini PKI akan bangkit. Dalam diskusi inipun terungkap polarisasi pandangan tentang akan bangkit dan tidaknya PKI. Kedua pendapat ini berusaha dikuatkan dengan argumen masing-masing yang kelihatannya masuk akal.
Argumen lain soal kebangkitan kembali kekuatan-kekuatan PKI dari masa lalu ini adalah dengan maraknya terbit buku-buku pro-PKI dalam jumlah yang cukup banyak sejak tahun 2000an. Buku-buku yang terbit umumnya penelitian tentang PKI yang menempatkan PKI sebagai salah satu kelompok yang ikut melahirkan bangsa ini dan memberik kontribusi di dalamnya. Selain itu lebih banyak lagi buku-buku tentang PKI yang dipersonifikasi sebagai korban ketidakadilan Orde Baru. Sebagian buku-buku yang terbit itu memang propaganda dari mantan-mantan tapol PKI seperti Bedjo Untung dan anak-cucu keluarga PKI. Tahun 2014, bahkan sempat terbit buku Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI (1920-1965) yang ditulis oleh Busjarie Latief dari Lembaga Sejarah PKI. Buku ini diterbitkan oleh penerbit Ultimus dan diberi kata pengantar oleh Sumaun salah seorang anggota Lembaga Sejarah PKI yang masih hidup. Dalam pengantarnya untuk buku itu, ia menyebutkan bahwa dengan tampilnya China sebagai negara maju yang disegani dunia, maka PKI punya harapan besar untuk bangkit kembali. Pernyataan ini terang saja mudah menjadi bukti bahwa PKI memang akan bangkit lagi, walaupun hingga saat ini belum ada yang berhasil mengklarifikasi pernyataan ini ke lelaki yang usianya pada tahun 2014 sudah 91 tahun. Akan tetapi, tersebarnya buku yang berisi sejarah PKI ini semakin menjadi amunisi bagi kalangan yang meyakini bahwa PKI akan bangkit kembali.
Pro-Kontra Kebangkitan PKI
Hingga saat ini, soal isu kebangkitan PKI terus muncul ke permukaan. Ada yang meyakininya akan bangkit seperti Alfian Tanjung yang sempat dipenjara tahun 2018-2020 gara-gara ke mana-mana bicara PKI akan bangkit. Rupanya Alfian tidak sendirian. Beberapa petinggi negeri ini juga mengungkapkan keyakinan mereka akan hal itu. Jendral Gatot Nurmantyo sejak menjadi Panglima TNI (2015-2017) sering mengungkapkan kekhawatirannya akan bangkitnya kembali kekuatan-kekuatan PKI yang dilarang di negeri ini. Ia bahkan membuat kebijakan agar seluruh jajaran TNI memutar kembali film G30S/PKI yang tidak pernah tayang lagi sejak Reformasi pada tahun 2016 dan 2017. Dalam sebuah wawancara di Kompas Tv tahun 2018 lalu saat ia masih menjabat Panglima TNI, ia menyebutkan bahwa secara awam saja mudah dibaca bahwa PKI masih hidup. Ia menyebutkan buku Aku Bangga Menjadi Anak PKI, dilarang-tayangnya film G30S PKI, dan dihapuskannya sejarah PKI dari buku-buku pelajaran sekolah sejak tahun 2008. Semua itu menandakan bahwa anasir-anasir PKI masih ada. Alasan ini juga yang disampaikannya di acara Indonesia Lawyers Club 19 September 2017. Namun saat diminta penegasan apakah memang PKI akan bangkit lagi, ia hanya menjawab secara diplomatis, “Kami tahu kapan kami harus bergerak.” Bisa jadi, sebagai Panglima TNI yang punya data intelejen ia memang tahu kekuatan PKI seberapa besar dan di mana saja sehingga berani bertindak keras terhadap isu PKI ini.
Bukan hanya Gatot yang kini sudah pensiun yang meyakini kebangkitan PKI ini. Sejumlah pensiunan jendral seperti Sayidiman Suryohadiprojo dalam Simposium “Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan PKI dan Ideologi Lain”di Balai Kartini 1 Juni 2016 mengatakan, “Kegagalan pemberontakan PKI 1965 adalah kerugian besar bagi RRC (Republik Rakyat China). Oleh karena itu, tidak heran jika sekarang PKI bangkit lagi.” Ia merujuk buktinya antara lain: 1) diselenggarakannya Pengadilan Rakyat International (International Peoples Tribunal) di Den Haag Belanda November 2015; 2) semakin banyaknya anak muda yang bangga menggunakan symbol PKI (palu arit) yang menandakan bahwa PKI sudah dianggap biasa bahkan membanggakan. Dalam Simposium yang sama, Habib Rizieq Shihab juga meyakini hal yang sama dengan argument yang kurang lebih sama dengan Gatot dan Sayidiman. Jendral Kivlan Zein yang juga tampil bicara menyebutkan indikasi bangkitnya PKI adalah dengan direhabnya kembali kantor PKI lama di samping Hotel Akasia Jakarta. Bangunan itu pura-pura dibuat kantor perusahaan, tapi dia meyakini itu adalah pembangunan kembali bekas kantor PKI lama.
Dari kalangan akademisi sejarawan terkenal Anhar Gonggong menyatakan bahwa suatu ideologi tidak akan pernah benar-benar mati selamanya. Dia akan hidup terus dan ada. Soal akan bangkitnya kembali komunisme di Indonesia bergantung pada masyarakat dewasa ini. Jika terbuka sedikit celah dan ruang, maka tidak menutup kemungkinan komunisme akan bermetamorforsa di zaman ini. Begitu ungkapannya seperti dikutip di laman okezone.com. Sepanjang pengamatan penulis sendiri, beberapa sejarawan di berbagai perguruan tinggi juga berpandangan tidak terlalu jauh berbeda.
Di pihak yang berseberangan, sejarawan Asvi Warman Adam yang sangat getol membela PKI beranggapan bahwa kebangkitan PKI adalah ilusi. Meyakini bangkitnya PKI seperti meyakini bangkitnya hantu dari kuburnya. Tulisan terakhirnya di Kompas, 30/6/2020 berjudul “Sejarah Untuk Mencerdaskan Bangsa”mengatakan bahwa PKI sudah punah di Indonesia. Anggota-anggotanya sudah dibunuh. Yang masih hidup dan keluarganya mengalami diskriminasi dan stigmatisasi, misalnya KTP diberi kode ET, tak boleh jadi PNS dan anggota ABRI. Tetap dipertahankannya TAP MPRS 1966 tentang pelarangan PKI pada masa Era Reformasi saat ini pun sudah menandakan bahwa tidak ada celah bagi PKI untuk bangkit. Begitu alasan yang dikemukakannya.
Hal yang sama juga diyakini olef Frans Magnis-Suseno yang menulis banyak buku tentang komunisme. Dalam artikelnya di Kompas, 10/7/2020 berjudul “Komunisme Memang Gagal” ia menjelaskan argumennya bahwa kebangkitan PKI hanya ilusi, antara lain disebabkan hal-hal berikut. Pertama, komunisme di seluruh dunia sudah bangkrut. Uni Soviet (Rusia) sebagai negara terdepan dan terbesar yang mempraktikkan ideologi komunisme sudah hancur. Boris Yeltsin yang menjabat ketua Partai Komunis Uni Soviet pada tahun 1990 membubarkan partainya. Uni Soviet sudah bubar sejak tahun 1989 dan Rusia sebagai induknya akhirnya kembali menjadi kapitalis. China pun sebagai negara komunis terbesar kedua setelah Uni Soviet akhirnya harus realistis. Sejak dipimpin Deng Xiao Ping China berubah haluan menjadi kapitalis-negara (state capitalist) dalam ekonomi, walaupun politiknya masih satu partai sebagai konsep diktator proletariat. Hal yang sama dilakukan oleh Vietnam. Negara-negara komunis kecil-kecil seperti Kuba dan Korea Utara semakin tidak populer dan semakin melemah. Kedua, di Indonesia sejak terbitnya TAP MPRS tahun 1966 tentang pelarangan PKI, komunisme sudah dibasmi sampai ke akar-akarnya. Tidak ada lagi sisa-sisa kekuatan PKI atau komunisme di Indonesia. Jadi, simpulnya, yang meributkan PKI akan bangkit lagi adalah orang yang tidak ada kerjaan; hanya ingin menimbulkan ketakutan saja di tengah masyarakat. Walaupun begitu, Frans tetap mendukung TAP MPRS Pelarangan PKI tetap dipertahankan sebagai warisan sejarah yang penting. Kesimpulan ini agak membingungkan. Di satu sisi memustahilkan PKI akan bangkit, tapi di sisi lain TAP MPR Pelarangan PKI tetap ingin dipertahankan, seolah Frans yang memang anti-komunisme masih mengkhawatirkan PKI akan ada lagi.
Metode lain untuk menolak keyakinan akan kebangkitan PKI dilakukan oleh lembaga survey SMRC (Saeful Mujani Researc Center) bulan September 2017. Lembaga riset ini mencoba melakukan jajak pendapat masyarakat tentang kemungkinan bangkitnya PKI. Metode ini digunakan dengan tujuan untuk menggali apakah masyarakat mengetahui dan meyakini bahwa di sekitar mereka tengah ada kebangkitan PKI atau tidak. Ternyata hasil riset lembaga ini menunjukkan 86,6 persen responden tidak percaya bahwa PKI akan bangkit. Ini mengindikasikan bahwa masyarakat tidak menyaksikan di sekitar mereka tidak ada aktivitas yang mengarah kepada kebangkitan PKI. Hanya saja, survey ini tidak menyasar kemungkinan bangkitnya gerakan komunisme ini secara laten dan di bawah tanah. Tapi setidaknya survey ini mengisyaratkan hal lain, yaitu bahwa kebangkitan PKI memang belum terang-terangan terjadi.
Penyangkalan lantang lainnya datang dari mantan PKI sendiri dan anak keturunannya. Bedjo Untung dan Ilham Aidit, misalnya, dalam berbagai wawancara di televisi yang juga diunggah di laman youtube mengatakan bahwa PKI tidak akan bangkit lagi. Mereka hanya meminta keadilan atas diskriminasi yang mereka terima sepanjang Orde Baru. Menteri Hukum dan HAM yang juga aktivis PDIP Yasona Laoli sejak ramai-ramai pembubaran pertemuan mantan-mantan PKI dan diskusi-diskusi pro-PKI selalu mengatakan bahwa PKI tidak akan bangkit lagi. Ia juga mengatakan bahwa klaim-klaim seperti yang dilontarkan Kivlan Zen bohong belaka. Kepercayaan ini juga hampir dipegang oleh seluruh pentolan PDIP yang sering dituduh sebagai “sarang” mantan-mantan PKI dan anak keturunannya.
Apakah PKI benar-benar akan bangkit atau tidak? Jawaban pasti tentu hanya akan diberikan oleh sejarah nanti. Tidak bisa dipastikan bangkit atau tidaknya hanya dengan analisis dan prediksi. Bahwa PKI tidak akan bangkit lagi hingga tidak lagi terjadi kekacauan dalam sejarah Indonesia seperti masa lalu saat PKI hadir di negeri ini, tentu itu merupakan hal yang diharapkan semua pihak. Dengan begitu negeri ini dapat menghadapi sejarah dan masa depannya dengan tenang tanpa banyak kegaduhan. Akan tetapi segala kemungkinan dapat saja terjadi. Kalau analisis Gatot Nurmantyo, kebangkitan PKI memang bukan dalam wujud kasarnya seperti pada masa lalu. Komunisme muncul dalam bentuk proxy. Dia akan menyusup pada berbagai kelompok dan gerakan. Agenda-agenda mereka akan dititipkan di sana. Targetnya masih sama, yaitu bagaimana caranya mereka dapat berkuasa hingga dapat menghabisi semua orang yang selama ini dianggap sebagai musuh mereka. Bisa saja ideologi komunis asli model Marx-Engels atau model Stalinisme dan Maoisme sudah tidak lagi mereka pakai karena terbukti gagal dalam sejarah, namun komunisme model baru a la China atau Vietnam, yaitu model “komunis cum kapitalis” tidak mustahil menimbulkan inspirasi dan semangat baru. Bagi umat Islam, baik komunisme maupun kapitalisme-liberal, dua-duanya adalah sumber kezholiman nyata yang harus diperangi. Oleh sebab itu, kewaspadaan—bukan paranoia—harus juga dimiliki umat Islam. Sekecil apapun celah untuk bangkitnya ideologi-ideologi zholim di negeri ini, harus ditutup oleh umat Islam. Hanya saja, cara menghadapinya harus lebih cerdas dan beragam, jangan hanya berhenti pada demonstrasi yang menguras tenaga, tapi tidak ada tindak lanjut nyata. ***