KH Noer Alie, pahlawan nasional kelahiran Bekasi yang juga pendiri Pondok Pesantren Attaqwa adalah tokoh yang tak pernah habis untuk digali. Selama ini kajian tentang tokoh kharismatik ini masih lebih banyak didominasi sisi militernya.
Demikian terungkap dalam perbincangan sore bedah buku Pemikiran Pendidikan KH Noer Alie, Rabu (27/1) bersama penulisnya, Al Fathan, di Literascy Coffee Kaliabang Tengah, Bekasi. Selain Fathan, diskusi menampilkan dua pembanding, Ahmad Makki dan Lukmanul Hakim, dimoderatori Bayu Sulistiawan.
Selama ini, kajian tentang KH Noer Alie seakan terjebak pada statusnya sebagai tentara Hizbulloh, perjuangan fisik, perjalanannya ke Yogja atau bagaimana dia bergerilya ke daerah Bogor dan Serang, peristiwa pertempuran Sasak Kapuk. Bahkan ada yang melihat Kiyai dari sisi klenik yang bisa menyesatkan. Misalnya kiyai tidak mempan ditembak, bisa menghilang, atau dapat suguhan makan secara misterius, sumpahnya bikin gila, tepukan pundaknya tukang telor bisa laris manis dagangannya.
“Ini menyesatkan. Saya cek, semua itu bohong. Buku yang sata tulis bebas dari hal-hal begituan,” kata Fathan.
Yang lebih penting saat ini bagaimana mempelajari KH Noer Alie membangun desanya menjadi qoryah thoyyibah. Di desanya, Ujungharapan, sistem sosial lingkungan masyarakat dibangun menjadi wilayahnya yang penduduknya berbasis mashollah.
“Di Ujungharapan orang lebih dikenal sebagai warga Al Barkah, Warga An Nur dan sebagainya. Orang tidak familiar dengan nomor RT atau di RW berapa dia tinggal. Dia taunya warga musholla mana dia. Dan ketika disebut kewargaannya di musholla tertentu, orang langsung bisa mengidentifikasikannya.” Begitu cerita Ahmad Makki, dosen STAI Attaqwa yang jadi pembanding dalam bedah buku.
Bahkan secara teritorial, Ujungharapan menjadi daerah yang kalau dilihat menggunakan drone akan tampak begitu ideal. Wilayah sebelah utara dan dan selatan disandingkan oleh bangunan pondok pesantren dengan masjid sebagai tampilan utamanya. “Apakah ini by-disain atau terjadi begitu saja di tangan Kiyai Noer Alie. Yang jelas ini menarik, bagaimana Kiyai membangun daerahnya,” kata Bayu Sulistiawan.
Selain itu bagaimana kiyai Noer Alie membangun pendidikan yang saat ini masih eksis dan bahkan semakin besar. “Pendalaman di sisi ini jauh lebih penting, karena tuntutan masyarakat saat ini adalah bagaimana bisa melakukan proses kependidikan secara lebih baik,” kata Lukman mengomentari buku.
Karena itu, buku Pemikiran pendidikan KH Noer Alie yang berawal dari sebuah tesis Al Fathan di International Islamic University (IIU) Malaysia merupakan pembuka wacana dan kajian-kajian yang lebih mendalam dan menulis pemikiran pendidikan Kiyai Noer Alie. Dengan jelas dan tegas, Alfathan yang alumni Pondok Modern Gontor memberi tantangan kepada alumni-alumni Attaqwa untuk menulis lebih banyak dan lebih dalam dari sisi pendidikan.
“Buku saya sebagai pembukanya,” katanya.
Karena menurut Fathan masih begitu banyak spot-spot yang pelu dikaji lebih mendalam tentang bagaimana KH Noer Alie membangun pendidikan Islam yang disita-citakannya saat mendirikan Attaqwa. Bedah buku di Literacy Coffee sore itu menjadi menarik karena sambil diskusi bisa ngemil reerebusan serta suguhan aneka kopi. Memang untuk itulah literacy Coffee dibangun, bicara buku sambil ngopi, (gus/zas)