Oleh Bachtiar Efendi
Mahasiswa PKU Angkatan ke-5 MUI Kota Bekasi
Manusia diciptakan oleh Allah swt. untuk beribadah kepada-Nya., yakni tunduk dan patuh dalam segala keadaan dan dimanapun berada bahkan pada kondisi fisik yang sangat lemah. Yaitu apabila ada orang sakit yang
mengakibatkan kelumpuhan seluruh anggota tubuhnya niscaya baginya tetap berkewajiban untuk beribadah kepada Allah swt. -yang sudah pasti caranya berbeda dengan kebanyakan manusia yang memiliki fisik lebih baik darinya.
Lalu bagaimana bisa seseorang yang lumpuh beribadah kepada Allah swt.? Dalam melaksanakan sholat, saat tidak mampu berdiri diperbolehkan dengan cara duduk, berbaring, hingga menggunakan isyarat mata atau batin sekalipun.
ٍ“Sholatlah dalam keadaan berdiri, apabila tidak mampu maka duduk, namun apabila tidak sanggup hendaklah berbaring.” (HR. Bukhari)
Dalam bersedekah sedangkan seseorang tergolong orang fakir dan miskin maka perbanyaklah bertasbih, bertakbir, dan melafazkan tahlil di dalam hati. Sebagaimana sabda Nabi saw. “Diriwayatkan dari Abu Dzar ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: Setiap tulang persendian kalian hendaklah memberikan sedekahnya; setiap bacaan tasbih adalah sedekah, setiap bacaan tahmid ialah sedekah, setiap bacaan tahlil ialah sedekah, setiap bacaan takbir ialah sedekah, memerintahkan untuk berbuat baik adalah sedekah, melarang dari perbuatan keji ialah sedekah. Dan untuk membalas semuanya, kaliancukup shalat Dhuha dua rakaat.” (HR. Muslim)
Ibadah yang dilakukan oleh seseorang bisa dilakukan sejak ia bangun tidur hingga akhirnya tidur kembali dan tidak hanya dalam bentuk sholat (selain sholat fardhu) atau puasa (selain Ramadhan) saja; ia yang bangun tidur, masuk dan keluar kamar mandi, makan dan minum, hendak ke sekolah, bekerja, bermain, dan kegiatan baik lainnya pun bisa tercatat sebagai orang yang senantiasa beribadah kepada Allah swt. Sebaliknya, berapapun banyaknya jumlah rakaat sholat, puasa, zakat, dan haji seseorang bisa saja tidak dicatat oleh para Malaikat sebagai ibadah.
Begitulah Islam mendidik muslim melalui insan mulia Nabi Muhammad saw. dalam perkara beribadah, yakni sekecil apapun usaha yang dikerjakan atau seberapapun besarnya usaha seseorang tidaklah ada yang luput dalam
perhitungan Allah swt. Maka mulailah sejak saat ini kita memahami hakikat kebaikan yang dicatat sebagai ibadah oleh Allah swt. serta kebaikan yang tidak tercatat sebagai ibadah oleh-Nya.
Jemput kebaikan sebagai bekal bagi kita untuk meraih keridhaan Allah swt., berjumpa dengan-Nya kelak dan dalam upaya meminta surga yang kenikmatannya tiada sama dengan segala yang ada di alam dunia ini. Fokuslah untuk
meraih kebaikan sejati, bukan pada material semata karena yang demikian itu hanyalah sementara dan sekedar perhiasan belaka yang kapanpun Sang Pemilik sejati mengingikannya, Dia (Allah swt.) bisa dengan mudah mengambil tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan dari seseorang yang dititipinya.
a) Hakikat Niat
Seluruh perbuatan yang dilakukan oleh seseorang akan mendapat penilaian yang hak dari Allah swt., andaikan ada orang yang berbuat kebaikan yaitu pembaca alQuran, pemberi sedekah, dan orang yang mati dalam keadaan berperang dengan niat agar dipuji orang, disebut paling dermawan, dan dikenang sebagai pahlawan maka ia tidak akan memperoleh balasan berupa pahala dari Allah swt. dan tergolong sebagai orang-orang yang merugi. Sebaliknya, setiap perbuatan dengan niat baik karena mengharap keridhaan Allah swt. meskipun tidak sesuai sasaran, niscaya tetap mendapat hasil terbaik dari Allah swt.
“Diriwayatkan dari Abu Yazid Ma’n bin Yazid bin Akhnas ra. Dia, ayahnya, dan kakeknya termasuk golongan sahabat semua. Dia (Ma’n) berkata, “Ayahku, Yazid, mengeluarkan beberapa dinar untuk disedekahkan. Lalu dinar-dinar tersebut diletakkan di sisi seseorang dalam masjid. Aku datang untuk mengambilnya, kemudian aku menemui ayahku dengan membawa dinardinar tersebut. Ayah berkata: Demi Allah, bukan engkau yang aku kehendaki (untuk diberi sedekah). Selanjutnya hal demikian diadukan kepada Rasulullah saw., beliau bersabda: Bagimu adalah apa yang engkau niatkan, wahai Yazid dan bagimu adalah apa yang engkau ambil wahai Ma’n” HR. Bukhari.
Al-kisah, seorang ulama pergi ke Madinah, dia bertemu dengan Abu Hurairah berada ditengah-tengah kumpulan orang, kemudian dia bertanya kepadanya sesudah kumpulan itu meninggalkan tempat, katanya: “Aku meminta
(demi Allah) anda menceritakan hadits dari Nabi saw.”, Abu Hurairah menjawab: “Silahkan duduk baik-baik, dengarkanlah hadis yang aku memperolehnya langsung dari Rasulullah saw. dan tiada seorangpun bersama kami,
setelah mengucapkan perkataan itu lalu ia bernafas panjang dan pingsanlah ia, kemudian sadar, seraya mengusap wajahnya ia berkata: “Dengarkanlah hadist yang aku perolehnya langsung dari Rasulullah saw., demikian itu
diulang sampai tiga kali, setelah pingsan tiga kali pula, akhirnya ia berkata: “Rasulullah saw. bersabda: Ketika saatnya tiba Hari Kiamat, Allah swt. memutuskan semua urusan makhluk-Nya, masing-masing tunduk kepadaNya, yang pertama dipanggil ialah pembaca alQuran, lalu ditanyakan kepadanya: Kamu telah mempelajari apa yang diwahyukan kepada utusan-Ku? Jawabnya: Ya Tuhan, Tanya: Lalu apa yang kau amalkan di dalamnya? Aku membacanya di malam ataupun siang hari. Kemudian Allah swt. dan para Malaikat menyanggahnya: Kamu telah berbohong, karena semua itu kamu lakukannya hanya ingin dipuji orang, dan itu sudah terlaksana di dunia. Yang
kedua adalah, para hartawan, lalu ditanyakan kepadanya: Harta yang Aku berikan kepadamu, kau buat apa saja? Jawabnya: Ku belanjakan demi menyambung hubungan sanak famili dan disedekahkan. Lalu disanggah oleh Allah swt. dan para Malaikat: Kamu bohong, karena semua itu dilakukan agar kamu disebut dermawan, dan itu sudah terlaksana. Yang ketiga ialah, orang mati syahid, lalu ditanyakan kepadanya: Kenapa kamu terbunuh? Jawabnya: Jihad fisabilillah. Lalu disanggah oleh Allah swt. dan Malaikat: Kamu bohong, karena tujuanmu hanya agar disebut pahlawan yang gagah berani dan hal semacam itu sudah terlaksana di dunia. Kata Abu Hurairah: Lalu Rasulullah
saw. menepuk lututku seraya bersabda: “Hai Abu Hurairah, ketiga macam manusia itulah yang paling awal disiksa di neraka”. Dan ketika Muawiyah mendengarnya, langsung menangis dan berkata: “Sungguh benar Allah dan RasulNya, dia kutip al-Quran:
“Barangsiapa (tujuan amalnya) hanya menghendaki kesenangan dan keindahan dunia, pasti Kami sempurnakan balasannya di dunia, sedikitpun tidak dikurangi.” (QS. Hud: 15).
Ada pula orang yang perbuatannya dianggap remeh oleh orang lain bahkan ada juga yang belum sempat ia kerjakan kebaikan yang telah diniatkan itu, namun justru memperoleh balasan dari Allah swt.. Diriwayatkan bahwa: “Di Hari Kiamat seseorang terkejut ketika dihadapkan, ia melihat catatan amalnya ada ibadah haji, umrah, jihad, zakat dan sedekah, lalu hatinya bertanya: “Dari mana semua amal ini, sedangkan aku tidak pernah melakukannya (di dunia), kemungkinan ini bukan catatan amalku? Lalu Allah swt. berfirman: “Bacalah catatan amalmu itu, dulu kamu pernah berkata: seandainya aku punya harta pasti menunaikan haji, jihad dan semua yang tercatat di dalamnya, Aku sangat mengetahui bahwa: Niat (tujuan) mu itu adalah sungguh-sungguh, maka pahala semua itu Aku berikan sekarang.”
Niat ialah keinginan yang timbul dari dalam hati seseorang bersamaan dengan perbuatan yang dikerjakannya. Niat juga merupakan syarat utama dari semua amal perbuatan yang dilakukan seseorang dan hukum melafazkannya
merupakan sunnah.
“Diriwayatkan dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin Adi bin Ka’b bin Lu’ay bin Ghalib al-Qurasyi alAdawi berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya semua amal perbuatan tergantung niatnya, dan sesungguhnya bagi
setiap orang apa yang telah diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah swt. dan Rasul-Nya maka hijrahnya itu pun karena Allah swt. dan Rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya untuk harta dunia yang hendak diperolehnya atau untuk seorang wanita yang dinikahinya maka hijrahnya itu pun untuk sesuatu yang dimaksudkannya.” (Muttafaqun Alaih)
Menurut Imam Abu Dawud bahwa hadist tersebut setengah dari Islam. Karena agama itu terbagi kepada yang (zahir) tampak, yaitu amal, dan yang (bathin) tersembunyi, yaitu niat. Imam Ahmad dan Imam Asy-Syafi’i berkata
sesungguhnya hadist diatas merupakan sepertiga ilmu. Sebab, seorang hamba itu akan mendapat pahala berkat perbuatan hati, lisan, dan anggota badannya, dan niat dilakukan dengan hati yang merupakan salah satu dari
ketiganya.
Al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad menjelaskan, arti niat ada dua macam pertama ialah ungkapan tentang suatu keinginan yang mendorong seseorang untuk berkehendak, beramal dan berbicara, dan kedua merupakan ungkapan tentang suatu maksud dan berbetulan tekad untuk melaksanakan sesuatu.
Adapun niat dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, pertama ialah niat yang bernilai ibadah dan inilah sesungguhnya niat yang diridhai Allah swt., contoh: seseorang berniat sholat tahajjud tanpa terlebih dahulu
menulis status di media sosial melainkan dia tanamkan hanya didalam hati niat tersebut agar mendapat keridhaan Allah swt., maka niatnya yang demikian insya Allah diterima oleh Allah swt. Kedua, niat yang tidak bernilai ibadah dan disebut juga dengan niat buruk, yang demikian merupakan niat yang dimurkai Allah swt., contoh seorang lelaki berniat menikah dengan perempuan sekedar hanya ingin menyakiti perasaan perempuan atau ingin membalas
dendam, semoga Allah swt. memberi hidayah bagi orang-orang yang memiliki niat demikian. Kemudian yang ketiga ialah niat yang tergolong salah, contoh seseorang mengerjakan sholat agar dapat disebut sebagai orang yang sangat
taat kepada Allah swt. dihadapan pimpinan atau orang lain atau bersedekah karena hanya ingin disebut sebagai sosok dermawan dan lain sebagainya.
Al-Faqih Abu Laits As-Samarqandi menjelaskan bahwa niat akan dinilai benar selama orangnya tidak kikir, misalnya: Ia melihat orang tengah beribadah haji mengalami kekurangan, lalu ia berkata: “Seandainya aku
cukup harta pasti aku menunaikannya, tapi karena bekalnya jauh dari cukup, maka sedikit bekal ini kuberikan saja untuk membantu orang yang akan pergi haji, demikian pula pada amal-amal lainnya. Tetapi jika ia kikir untuk membantunya, hingga diketahui persis: Seandainya ia punya lebih banyak dari itu, pasti tetap kikir, maka orang yang demikian ini tidak berpahala dari niatnya.
Sahl Sa’ad Sa’idy berkata: Nabi saw. bersabda: “Niat (tujuan) seorang mukmin adalah lebih baik dari amalnya, sebaliknya orang munafik amalnya melebihi niatnya, dan setiapnya beramal atas (sesuai) dengan niatnya.”
b) Hanya Karena Allah swt.
Allah swt. adalah Dzat yang harus dijadikan tujuan utama dalam setiap perbuatan seseorang, karena sesungguhnya atas izin dan kuasa dari-Nya seseorang dapat berbuat sesuai dengan apa yang diinginkannya. Apabila ada
diantara makhluk yang melakukan perbuatan tanpa menjadikan Allah swt. sebagai tujuannya sesungguhnya ia telah menyekutukan Allah swt. dalam tujuan tersebut.
Di saat makan, maka niatkanlah agar dapat lebih giat sholat sehingga semakin dekat dengan Allah swt., membantu orang lain yang terkena musibah guna memudahkannya kembali beribadah kepada Allah swt., menghadiri
majelis ilmu supaya memahami perkara yang hak dan batil serta berbuat sesuai syariat Allah swt. yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.; jika bekerja hendaklah berniat agar rezeki yang didapat bisa berbagi kepada fakir, miskin dan orang-orang lemah sehingga mereka terhindar dari kekafiran dan kemusyrikan kepada Allah swt., membahagiakan keluarga dengan memberi makanan yang halal guna mengantarkannya semakin yakin tentang sifatsifat Allah swt. yang Maha Memberi dan Maha Kasih Sayang; ketika sekolah tanamkanlah niat agar bisa mendalami ilmu-ilmu Allah swt. yang sangat luas; tatkala membuang kotoran yang keluar dari qubul dan dubur niatkanlah agar kesehatan badan tetap terjaga dan terhindar dari penyakit yang menyebabkan tidak dapat
beribadah dengan sempurna kepada Allah swt., dan lain sebagainya.
“Dari Zaid bin Tsabit ra. berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai tujuannya, maka Allah swt. akan memisahkan perkaranya tersebut dan menjadikan pandangannya senantiasa faqir serta tidak memperoleh hal lain kecuali yang telah diinginkannya. Dan barangsiapa yang
menjadikan akhirat sebagai niatnya dalam berbuat, maka Allah swt. akan mengumpulkan perkaranya tersebut dan menjadikan hatinya kaya serta dunia akan dibuat tunduk baginya.” HR. Ibnu Majah.
Dunia beserta kesenangan yang ada didalamnya bersifat semu dan tidak abadi; apabila seseorang beramal dalam kesehariannya dengan niat untuk mendapatkan kesenangan duniawi semata, sesungguhnya ia telah tertipu
oleh yang tampak di depan mata. Bukankah harta bisa saja tidak tersisa? Tahta tersingkir oleh masa? Dan manusia dapat menjadi tua renta hingga akhirnya binasa? Begitulah akhir dari setiap niat yang bermuara pada kepalsuan
belaka.
Namun, jika seseorang beramal dengan niat mulia niscaya harta yang dalam genggamannya selalu saja tersisa, tahta yang diembannya tidak terbatas pada masa, dan di usia yang tua renta bahkan saat telah tiada pun ia selalu terasa memberi manfaat yang luar biasa. Mereka adalah orang-orang yang tergolong sebagai anbiya, syuhada, dan auliya
serta para solihin yang setiap langkahnya selalu diiringi niat yang mulia.
Sudah tahu kah kita bahwa dengan niat mulia, hal yang tidak menyenangkan dapat berganti menjadi sesuatu yang menakjubkan?
Alkisah tentang sebuah niat yang mengalahkan logika ilmiah, seorang bernama Muhammad Syamsuri menceritakan kejadian nyata yang dialaminya, ia adalah Anggota Helm aktif (Grup Helm MR yaitu aktifis Majelis Rasulullah di Indonesia pimpinan almarhum wal maghfurlah Habib Mundzir bin Fuad alMusawwa yang bertugas mengatur lalu lintas dan memerintahkan jamaah agar menggunakan helm bagi pengendara motor saat menuju lokasi pengajian).
Beberapa waktu lalu ia kecelakaan mobil di Tol Cipularang dan mengalami retak tulang kaki sehingga harus menggunakan kursi roda. Dokter sudah tidak sanggup mengobatinya hingga pulih seperti semula. Namun Syam tidak putus asa. Ia pergi ke kediaman Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Yahya, Pekalongan Jawa Tengah untuk meminta doa.
Pertama kali bertemu, guru mulia Habib Luthfi bin Yahya bertanya kepada Syam tentang niatnya jika kakinya sembuh. Syam menjawab bahwa ia ingin kembali kerja di Jakarta. Spontan sang guru mulia Habib Luthfi bin Yahya
menjawab bahwa ia tidak mungkin sembuh seumur hidup dan harus memakai kursi roda. Syam dan keluarganya menangis mendengar kabar itu. Setelah itu guru mulia Habib Luthfi bin Yahya pergi dan membiarkan Syam selama
3 minggu di rumahnya.
Selama waktu itu Syam hanya meratapi nasibnya. Hingga suatu malam ia bermimpi didatangi Habib Mundzir al-Musawwa yang lantas rebahan di sampingnya dan memberikan lembar jadwal Majelis Rasulullah (MR) sambil
berbisik, “Bilang habib Luthfi bahwa kamu ikut saya di Jakarta”.
Pagi harinya Syam lantas menemui guru mulia Habib Luthfi bin Yahya dan berkata bahwa ia di Jakarta membantu dakwah Habib Mundzir dengan mengatur lalu lintas. Mendengar hal itu guru mulia Habib Luthfi bin Yahya kaget dan lantas bertanya apa yang menyebabkan kamu berubah niat? Syam lantas menceritakan mimpinya. Saat itu sontak guru mulia Habib Luthfi bin Yahya memeluk Syam dan berkata, “Kamu besok sembuh. Pulang ke Jakarta berkah”. Guru mulia Habib Luthfi bin Yahya kemudian mengusap kaki Syam dengan air beberapa kali.
Malam harinya yaitu Senin malam bertepatan dengan majelis rutin MR di alMunawwar Minggu lalu, jam 21.00 kaki Syam sudah bisa digerakkan dan bisa untuk berjalan. Akhirnya Syam bisa berjalan seperti sebelumnya dan kini Syam sudah kembali membantu dakwah Habib Mundzir dengan aktif mengatur lalu lintas di al-Munawwar. (Dikisahkan dalam laman ppal-itqon.blogspot.com).
Sungguh sangatlah beruntung manusia yang selalu menjaga niatnya untuk beribadah semata karena Allah swt. Semoga kita adalah bagian dari orang-orang yang memiliki niat baik dan menjadi orang baik saat di dunia hingga
akhirat. ***