Oleh : Dr Mujahidin Nur Lc MA, Anggota Komisi Infokom MUI dan Direktur Eksekutif Peace Literacy Institute Indonesia, Jakarta
Di sela-sela perhelatan prestisius KTT G20, Presiden Indonesia Joko Widodo dan para diplomat senior Indonesia ‘berjuang’ untuk melakukan lobi-lobi politik terhadap negara-negara yang selama ini keras dalam memberikan sangsi kepada Russia akibat invasinya ke Ukraina sebagaimana disampaikan oleh tiga diplomat senior Indonesia kepada Politico.eu sebuah media kenamaan politik kenamaan Uni Eropa (15/11/2022).
Lobi-lobi politik dan diplomasi itu tentu saja ditujukan pada negara yang selama ini keras menerapkan beberapa sanksi (series of sanctions) kepada Rusia yaitu Amerika Serikat, Australia, Jepang, dan negara-negara Eropa agar mampu menunjukkan fleksibelitas terhadap Russia selama gelaran KTT G 20 ini.
Indonesia sebagai negara pemegang Presidensi G20 tahun ini, sebagaimana disampaikan Presiden Joko Widodo, mempunyai tanggungjawab besar bagaimana KTT G20 ini tidak dead lock sehingga bisa melahirkan komunike bersama untuk kemaslahatan dunia secara mondial.
Joko Widodo khawatir apabila negara-negara Barat tidak fleksibel terhadap Russia di KTT G20 ini, maka bisa saja KTT20 kali ini tidak meninggalkan komunike atau deklarasi bersama sehingga, G20 selesai tanpa ada kesepakatan yang ditandatangani dan dideklarasikan bersama. Karenanya, sangatlah wajar, apabila Presiden Indonesia mengatakan bahwa Presidensi G20 kali ini merupakan Presidensi paling berat karena terjadi di tengah peperangan antara Rusia dan Ukraina.
Usaha-usaha yang dilakukan Presiden Indonesia dengan para diplomat senior itu apabila diterjemahkan dalam prespektif Islam merupakan wujud ajaran Islam yang mengajarkan perdamaian, mengajarkan umatnya untuk mendamaikan mereka yang berseteru untuk sama-sama meneguhkan perdamaian sebagai ruh pergaulan global.
Karenanya Alquran dan hadits, juga dicontohkan era para khalifah rasyidun tidak pernah melahirkan adanya dikotomi atau kategorisasi Dar Islam (Negeri Islam) dan Dar Harb (Negeri Perang) karena hal ini mempunyai implikasi yang akan melahirkan konflik dan perpecahan di pentas global.
Khalil Rajab Hamdan al-Kabisi mengatakan, pembagian konseptual antara negeri Islam dan negeri perang hanya lahir dari pemikiran fuqaha’ (ahli fikih). Mereka ingin menciptakan aturan bernegara, mengelompokkan perbedaan sosial, dan kemudian mengatur pola-pola interaksinya. Sementara Islam sendiri dalam konteks bernegara menghendaki umatnya untuk senantiasa menciptakan harmoni, perdamaian, dan saling menghormati antara satu bangsa dengan bangsa lainnya.
Artinya, dalam konteks bernegara, sudah sepatutnya presiden-presiden umat Islam memberikan kontibusi riil dan holistik dalam menciptakan perdamaian dunia melalui forum-forum regional maupun internasional seperti yang dilakukan Joko Widodo dalam forum G20 ini.
Presiden dari negara-negara Muslim harus mampu menjadi pioner terdepan dalam memperjuangkan kemanusiaan, menciptakan tatanan ekonomi yang humanis, tatanan politik yang humanis, tatanan sosial yang humanis sehingga nilai-nilai kemanusiaan (insaniyah) yang menjadi tujuan hadirnya agama ini mampu terwujud dalam kehidupan global.
Meminjam bahasa Alquran semoga dengan segala usaha dan perjuangan bangsa ini berkontribusi menciptakan perdamaian dunia, negara kita bisa diktegorikan sebagai Darus Salam, negeri yang dipenuhi dengan kedamaian dan mampu menyebarkan diplomasi damai ke berbagai penjuru dunia.
Konsep Darus Salam (Negeri Damai) yang didasarkan pada firman Allah SWT:
لَهُمْ دَارُ السَّلَامِ عِنْدَ رَبِّهِمْ ۖ وَهُوَ وَلِيُّهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Bagi mereka Negeri Damai (Darussalam) di sisi Tuhannya, dan Tuhan adalah Pelindung mereka sesuai dengan perbuatan mereka selama ini,” (QS Al-Anam ayat 127).
Dalam menafsiri ayat ini, Imam at-Thabari mengatakan, Darus Salam ini adalah surga yang Allah SWT berikan sebagai balasan atas amal baik yang dilakukan manusia selama hidupnya di dunia (At-Thabari, Tafsir at-Thabari, Jilid 10, 2014: 145)
Ahmad Khalushi dan Mushtafa Darwis mengatakan, pengertian Darus Salam atau Surga adalah simbol dari tercapainya puncak tujuan hidup umat manusia. Sedangkan agama berperan sebagai wasilah (perantara) bagi manusia untuk mencapai puncak tujuan hidupnya, baik di dunia maupun di akhirat.
Salah satu indikatornya adalah keselamatan dan keamanan warga (salam ahliha), jauh dari penyakit (afat) dan kehancuran (fana‘), dan terciptanya perdamaian di mana-mana (katsratus salam), Inilah makna ayat 127 surat al-An’am di atas, yang menjelaskan tentang arti Darus Salam (Kasyfu Pasdawi, 1308 H: 7).
Dengan kata lain, ciri-ciri utama Negeri Damai atau Darussalam mensyaratkan keamanan dan kenyamanan warga negaranya. Dalam negeri damai, segala hal yang bisa mendatangkan mudharat dan penyakit harus dibasmi. Dalam rangka mencapai tujuan hidup yang mulia semacam itu, agama berperan sebagai wasilah atau perantara. Dan Islam adalah agama damai sekaligus wasilah menuju damai.
Konsep negeri damai tidak saja hadir dalam pemikiran para mufassir Alquran, para fuqaha’ juga memiliki pandangan tentang konsep Darus Salam ini. Misalnya, seorang ulama mazhab Syafi’i, Al-Mudhaffar al-Mushuli bin at-Thusi, bersenandung dalam sebuah bait syair yang berbunyi (Al-‘Ibbadi, Zailu Thabaqat al-Fuqaha’ al-Syafi’iyyin, 2022: 61):
‘ala sakini daris salam salamun (kepada penduduk negeri damai, keselamatan atas kalian)
yakhimu ana khayyimu wa aqamu (dia aku dan mereka berkemah dan menetap)
hammu kaifa ma kana maqoman wa rihluhu (mereka ini tempat tinggalnya, dan perjalanannya)
wa washlan wa hijranan ‘ala karomin (keberangkatan dan tibanya dalam keadaan mulia).
Mencermati bait-bait syair di atas, Ibnu at-Thus menggambarkan bahwa syarat sebuah negeri disebut negeri damai adalah apabila para penduduk dan warganya memiliki kemuliaan, martabat, dan kehormatan, baik saat mereka bermukim di rumahnya, maupun saat bepergian dan tiba di tujuan. Kemuliaan para warga adalah syarat utama sebuah negeri disebut negeri damai.
Dalam konteks bernegara, kemuliaan tersebut bisa disebut sebagai kedaulatan berbangsa dan bernegara. Terlebih apabila kedaulatan dalam berbangsa dan bernegara itu mampu untuk memberikan kontribusi dalam menciptakan perdamaian dunia.
Sebaliknya, sebuah negeri akan kehilangan kehormatan, harkat dan martabatnya apabila sudah tidak lagi memiliki kedaulatan dan berada dalam cengkeraman penjajahan.
Negaranya tercabik konflik dan peperangan, nilai-nilai kemanusiaan dan kehormatan warganya tidak dijaga serta pemimpinnya abai dari memerdulikan perdamaian.
Dalam kacamata Islam, negara seperti ini bukanlah negara yang disebut sebagai Negeri Damai (Darussalam). Dalam negeri Darul Salam, menurut ulama kenamaan Muhammad Abduh, siapapun yang memerangi dan membuat kerusakan di Darul Islam, baik itu orang muslim, atau orang dzimmi, atau orang yang sudah mengikat perjanjian, maka mereka disebut al-muharibin al-mufsidin, pasukan perang yang merusak (Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, Jilid 6, Mesir, 1367 H: 385).
Dengan kata lain, umat muslim yang membuat kekacauan, teror, dan ancaman di nengeri damai mereka tetap dinilai bersalah dan harus dihukum dengan tegas karena kerusakan yang dilakukannya.
Alhasil, Islam adalah agama damai, yang mengajarkan kedamaian, sekaligus wasilah untuk menciptakan perdamaian. Karenanya momentum G20, merupakan momentum yang tepat bagi Indonesia untuk menebarkan perdamaian dan kedamaian. Karena sesungguhnya umat Islam yang mulia adalah mereka yang mengambil tanggung jawab untuk mewujudkan perdamaian, baik di level nasional, regional, maupun global.