Kerentanan kejahatan siber terhadap data pribadi menjadi isu global. Sudah banyak negara di dunia menjadi korban kejahatan jenis ini. Tidak terkecuali negara Indonesia, sampai akhirnya pemerintah mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi.
Sumber daya paling bernilai bukan lagi minyak bumi, melainkan data? Kalimat ini terpampang besar di sampul majalah The Economist edisi 6 Mei 2017.
Bagaimana tidak? Dalam penjelasan majalah tersebut, data (baca: data pribadi) dapat dimanfaatkan perusahaan raksasa berbasis data macam Google, Facebook, Apple, dan lainnya agar target iklan lebih presisi, pada perkembangannya digunakan untuk meningkatkan keakuratan artificial intelligence (kecerdaasan buatan), fenomena ini memunculkan apa yang disebut data economy: ekonomi berbasis data.
Sekilas memang terlihat positif, namun di balik itu, data jika disalahgunakan bisa mengandung bahaya. Misalnya dalam konteks politik, data dapat disalahgunakan membentuk polarisasi berdasarkan jejak digital kecenderungan pilihan politik pengguna. Lebih jauh, di Indonesia sendiri, data sering digunakan sebagai alat kriminal online mulai dari penipuan berbasis online, jeratan pinjaman online, hingga didaftarkan sebagai anggota partai tanpa seizin pribadi yang bersangkutan.
Melihat berbagai macam fungsi data, dapat dimengerti mengapa pencuriannya menjadi tren masa kini. Indonesia kiranya menjadi salah satu sasaran empuk pencurian data pribadi. Berdasarkan data Hootsuit (We Are Social) 2022, sebanyak 204,7 juta dari total 277,7 juta populasi Indonesia (73,3 persen) merupakan pengguna internet.
Terkait masalah ini, Islam bila didalami, sebagai ajaran universal, memandang bahwa perlindungan terhadap data pribadi adalah tujuan syariat yang harus terwujud.
Namun sayangnya, masyarakat Indonesia dengan penduduk mayoritas pemeluk ajaran Islam, disebut minim literasi digital tentang pentingnya perlindungan data pribadi.
Padahal syariat Islam mempunyai landasan etik berdasarkan nash-nash agama yang sangat memandang penting perlindungan data pribadi seseorang. Dalam surat an-Nur ayat 27 Allah SWT berfirman :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَدْخُلُوْا بُيُوْتًا غَيْرَ بُيُوْتِكُمْ حَتّٰى تَسْتَأْنِسُوْا وَتُسَلِّمُوْا عَلٰٓى اَهْلِهَاۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Demikian itu lebih baik bagimu agar kamu mengambil pelajaran. (QS An-Nur [24]:27)
Ibnu Asyur, seorang pakar ilmu tafsir terkemuka asal Tunisia, menyebut bahwa ayat tersebut merupakan panduan perizinan saat memasuki rumah. Ibnu Asyur mengemukakan rumah adalah tempat paling pribadi, tidak sekadar tempat berlindung dari panas, berteduh saat hujan, menghangatkan diri saat cuaca dingin.
Ayat ini menurutnya, merupakan kepekaan ajaran Islam soal penghargaan dan perlindungan terhadap ranah privat pribadi seseorang. Karena boleh jadi di dalam rumah tersebut ada hal yang tidak ingin seseorang perlihatkan di depan publik yang merupakan kehormatannya.
Pada masa jahiliyyah, kata Ibnu Asyur, perizinan memasuki rumah tidak diatur secara ketat kepada kaum pinggiran, rakyat jelata. Perizinan hanya berlaku bagi mereka yang memiliki kuasa. Sebab ini, ayat di atas turun memperjelas bagaimana seseorang menghargai ranah privat orang lain tanpa memandang statusnya. (Ibnu Asyur, at-Tahrir wat-Tanwir, ad-Dar at-Tunisiyyah, juz 18 hlm. 196)
Menarik juga untuk diketahui, sistem jaringan keamanan yang berfungsi mencegah akses ilegal dari jaringan pribadi di masa modern disebut firewall. Entah ini kebetulan atau tidak, sistem seperti demikian mirip dengan kisah Dzulqarnain di surat al-Kahf [18] ayat 96 ketika dia diminta sekelompok masyarakat untuk membangun tembok besi berlapis api dan tembaga untuk melindungi mereka dari serangan Yajuj Majuj yang merusak.
Selain dalil dari Alquran, banyak riwayat hadits Nabi yang menunjukkan perlindungan data pribadi sangat penting. Privasi orang lain jangan sampai bocor ke pihak yang salah. Contohnya hadits riwayat Anas yang gamblang menggambarkannya :
عَنْ أَنَسٍ قَالَ أَتَى عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أَلْعَبُ مَعَ الْغِلْمَانِ قَالَ فَسَلَّمَ عَلَيْنَا فَبَعَثَنِي إِلَى حَاجَةٍ فَأَبْطَأْتُ عَلَى أُمِّي فَلَمَّا جِئْتُ قَالَتْ مَا حَبَسَكَ قُلْتُ بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِحَاجَةٍ قَالَتْ مَا حَاجَتُهُ قُلْتُ إِنَّهَا سِرٌّ قَالَتْ لَا تُحَدِّثَنَّ بِسِرِّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدًا قَالَ أَنَسٌ وَاللَّهِ لَوْ حَدَّثْتُ بِهِ أَحَدًا لَحَدَّثْتُكَ يَا ثَابِتُ
“Dari Anas dia berkata, “Saya pernah didatangi oleh Rasulullah SAW ketika saya sedang bermain dengan teman-teman yang lain. Kemudian beliau mengucapkan salam kepada kami dan menyuruh saya untuk suatu keperluan hingga saya terlambat pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, Ibu bertanya kepada saya, ‘Mengapa kamu terlambat pulang? Maka saya pun menjawab, ‘Tadi saya disuruh oleh Rasulullah untuk suatu keperluan.’ Ibu saya terus bertanya, ‘Keperluan apa?’ Saya menjawab, ‘Itu rahasia.’ Ibu saya berkata, ‘Baiklah, Janganlah kamu ceritakan rahasia Rasulullah SAW kepada siapapun.’”
Anas berkata, “Demi Allah, kalau saya boleh menceritakan rahasia itu kepada seseorang, maka saya akan menceritakannya kepadamu, hai Tsabit!” (HR Muslim no 4533).
Melihat konteks ayat-ayat dan hadits di atas, tidak berlebihan bila ayat-ayat dan hadits tersebut dapat menjadi acuan perlindungan data pribadi seseorang di era digital kini. Jelas bahwa dalam maqashidus syariah terdapat hifdzul ‘irdli (menjaga kehormatan), hifdzun nafsi (menjaga jiwa raga) dan hifdzul mali (menjaga harta).
Di era digital sekarang, dengan modal data pribadi, seseorang atau kelompok dapat mengancam tiga hal ini, baik kehormatan, jiwa raga dan harta. Maka perlindungan data pribadi adalah bagian dari maqashidus syariah, tujuan syariat Islam yang harus diwujudkan bersama.
Majelis Ulama Indonesia, selaku khadimul umah (pelayan umat) dalam hal ini, sebelumnya turut memperjuangkan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) agar segera disahkan. Mengingat PDP adalah maqashidus syariah, tujuan syariat Islam yang harus terwujud di tengah kehidupan masyarakat. Dan pada akhirnya setelah berlarut-larut sejak diinisiasi pada 2016, per Rabu 20 September 2022, UU PDP sah sebagai Undang-Undang. (Ilham Fikri, ed: Nashih)