Kitab kecil ini ditulis oleh KH Ahmad Abdul Hamid, ulama kelahiran pada 1915 di Kendal, Jawa Tengah. Ia termasuk pendiri dan pernah Ketua MUI Jawa Tengah dan wafat pada 1998.
Jika kita mengakhiri sambutan kita dengan kata wabillahit tawfiq wal hidayah atau Walahul Muwaffiq ila aqwami Thariq, itu adalah karyanya.
Kitab berjudul Risalatun Nisa atau Risalah Huquqiz Zawjain ini ditulis Kiai Ahmad pada 1371H (1952M) dalam aksara Jawa Pegon yang pada tahun-tahun itu memang tengah diasyiki kalangan pembaca santri dan tercatat telah membesarkan beberapa penerbit di Jawa Tengah: Menara Kudus, Toha Putera, dan Al-Munawwar Semarang.
Kiai Ahmad yang suka main bola ini termasuk produktif menulis beberapa kitab/buku. Kitab yang ditulisnya antara lain I’anatul Muhtaj fi Qisshati al-Isra’ wal Mi’raj, Tas-hilut Thariq (tentang haji), Fashalatan Jawa (menurut Penerbit Karya Thoha Putra terjual lebih dari 50 juta eksemplar sejak 1953), Sabilul Munji Fi Tarjamati Maulid al-Barzanji, Risalatus Shiyam (1956), dan lain sebagainya.
Kitab berukuran 19×13 cm dalam 46 halaman ini ditulis Kiai Ahmad dan dicetak pada 29 Zulqaidah 1371 M atau 20 Agustus 1952. Buku ini mendapat dua sambutan ulama terkemuka Jawa Tengah (diletakkan di bagian paling belakang) dari KH Hambali Semarang dan ulama ahli falak KH Abdul Jalil Hamid Al-Qasimi yang keduanya menulis dalam bahasa Arab.
“Isinya wajib diamalkan orang-orang yan bertaqwa,” tulis Kiai Hambali. “Setelah saya amati, kitab ini perlu mendapat perhatian terutama kalangan santri wanita,”tulis Kiai Abdul Jalil.
Tentu, kebanyakan kitab-kitab beraksara jawa pegon masih menggunakan penulisan tangan (khath), meskipun beberapa kitab sudah dibuat menggunakan huruf cetak pegon.
Khattah (penulis tangannya) adalah Muhammad Suyuthi asal Demak yang terkenal sebagai penulis khath kitab pegon. Nama Suyuthi tercantum dalam sampul menyatu dengan judul kitab. Untuk edisi ini tercantum tahun dibuatnya tahun 1387 enam tahun setelah cetakan pertama. Buku diterbitkan Al-Munawwar Semarang.
“Risalatun Nisa/Risalah Huquqiz Zawjayn. Menjelaskan kewajiban para istri kepada Allah untuk diterapkan kepada suaminya dan juga menjelaskan tentang kewajiban suami terhadap istrinya. Kitab ini juga menjelaskan bagaimana hukumnya seorang wanita menenakan wig (rambut palsu), hukumnya wanita menjadi lurah (kepala desa), anggota parlemen dan hukumnya wanita belajar menulis.” Demikian pengantar buku ini dalam halaman pertamanya.
Setelah basmalah, hamdalah dan selawat, Kiai Ahmad langsung memulai kitabnya dengan bab: Harus memperhatikan kewajiban bagi anak perempuan.
“Pada umumnya di kalangan kita jika mendapat anugerah anak perempuan maka kedua orangtuanya kelihatan kurang suka. Hal ini hampir sama dengan yang dilakukan kaum Jahiliyah (sebelum Islam lahir) yang mengangap anak perempuan ini merendahkan derajat orang tuanya. Perempuan dianggap barang yang bisa dijual atau diwariskan dan bahkan ada yang menguburnya hidup-hidup karena merasa malu.”
Padahal, menurut Kiai Ahmad mengutip Ihya Ulumiddin karya Imam Ghazali, memiliki anak perempuan itu lebih selamat dan lebih banyak pahalanya. Kenyataan di kebanyakan kita kurang memperhatikan nasib anak perempuan yang hanya dididik untuk di dapur.
“Hal itu tentu salah. Apakah prengetahuan halal dan haram itu hanya untuk laki-laki,” kata Kiai Ahmad.
Pada bab kedua, ia menjelaskan tentang istri tidak boleh mengandalkan amal kebajikan suami. Istri harus benyak mengamalkan perbuatan baik. Lalu, bab tentang adab istri, keharusan berkerudung bagi kaum wanita, hadis-hadis yang perlu difahami para istri, selanjutnya bagaimana cara menjadi seorang suami, cara menjadi seorang istri, dan percikan pemikiran hukum terkait perempuan.
Kewajiban suami menurut kitab ini, harus menjadi pemimpin rumah tangga, menjalankan kewajiban dengan sebaik-baiknya, menganggap istri sebagai teman karib, mencintai istri, tidak meninggalkan istri dalam memecahkan persoalan, tidak boleh mencela hasil kerja istri dan diusahakan memujinya, tidak boleh mencela istri di depan orang lain, membantu kesulitan istri, jangan KDRT, dan jangan selingkuh.
Jangan pula suka mabuk, judi, dan mencuri, sukai tinggal di rumah jika selesai bekerja, jangan tidak tegus sapa istri lebih tiga hari, mau mengakui kesalahan dan meminta maaf serta memberi papan, sandang dan pangan.
Sementara itu, kewajiban istri dalam kitab ini yaitu menjaga diri dan melanghar syariat, mencintai suaminya, memahami watak suami, menjaga kesusican dan kebersihan diri, berusaha untuk bisa mengambil perhatian suami, jangan berburuk sangka kepada suami, menjaga hubungan baik dengan keluarga suami terutama mertua dan ipar, jangan sering menyebut derajat kedudukan dan harta orangtua kepada keluarga suami, dan jangan selingkuh.
Selain itu pula, jangan melakukan maksiat dan ngerumpi, jangan menerima tamu laki-laki jika tidak ada suami terutama malam hari, membantu kesulitan suami, jangan pergi ke tempat yang memunculkan kecurigaan, mengatur rumah tangga agar menyenangkan, belajar agama dan jangan sekali-kali minta cerai.
Kiai Ahmad kemudian mengutip hadis Rasulullah yang menyebutkan ada empat golongan wanita yang masuk surga dan empat lainnya yang masuk neraka. Wanita yang dipastikan surga: wanita yang selalu menjaga larangan Allah dan taat suami, wanita yang banyak anak dan menerima pemberian suami, wanita yang memiliki rasa malu yang jika suami pergi ia bisa menjaga diri dan hartanya serta menjaga lisannya, dan wanita yang ditinggal mati suaminya tidak menikah lagi karena takut menterlantarkan anak-anaknya.
Sementara wanita yang masuk neraka adalah wanita yang sering melontarkan kata-kata keji kepada suaminya dan tidak bisa menjaga diri, wanita yang menuntut suaminya hal-hak yang tidak mungkin dilakukan, wanita yang tidak menutup aurat dan jika keluar rumah bersolek dan pamer diri, dan wanita yang dalam pikirannya hanya makan, minum dan kesenangan saja.
Sedangkan pahala menjadi istri disebutkan Kiai Ahmad melalui hadis: “Tidakkah kalian suka wahai wanita jika salah satu dari kalian hamil dari suaminya dan suaminya suka maka pahalanya sama dengan puasa dan berjuang fi sabilillah. Jika kemudian mulai datang rasa sakit hendak melahirkan, Allah memberi pahala yang tidak terhingga. Dan ketika melahirkan maka pada setiap tegukan dan isapan susu dinilai kebajikan. Jika ia bergadang karena mengurus bayinya maka Allah memberinya pahala memerdekakan 70 hamba sahaya.”
Kepala desa
Pada bagian akhir kitab ini dikemukakan beberapa masalah terkait wanita. Bagaimana jika seorang wanita menjadi lurah atau kepala desa. Kiai Ahmad mengutip hasil Muktamar NU di Salatiga 15 Jumadil Awal 1381 (10 Oktober 1961).
Jawaban Muktamar: ada perbedaan pendapat (khilaf). Imam Syafi’i, Maliki dan Hanbali melarang. Tapi, Imam Hanafi membolehkan, NU mengambil pendapat yang melarang, kecuali keadaan memaksa. Hal ini mengacu pada kitab Bidayatul Mujtahid yang membahas tentang hakim pengadilan dan Al-Mizan Al-Kubra Imam Sya’rani.
Lantas bagaimana jika perempuan menjadi anggota parlemen? Mengacu pada hasil Konferensi Besar Syuriah NU pada 16/17 Syakban 1376 atau 18 /19 Maret 1957, dijawab bahwa parlemen itu wadah untuk bermusyawarah untuk menentukan hukum (tsubut amrin li amrin) bukan membuat putusan (ilzamul hukmi).
Karena itu dalam hukum Islam boleh wanita menjadi anggota parlemen. Syaratnya; bisa menjaga diri (afifah), memiliki kemampuan dan pengetahuan, menutup aurat, mendapat izin (suami atau orang tua), aman dari gunjingan (fitnah), dan tidak menjadikan kemungkaran.
Belajar menulis
Bagaimana jika istri atau wanita belajar menulis, bolehkah? Majalah Suara Nahdlatul Ulama nomor 3 tahun 1346 (1928) menjawab: jika perempuan belajar menulis untuk mencari perhatian maka hukumnya makruh tanzih seperti makruhnya lupa memotong kuku.
Jika belahar nulis untuk tujuan maksiat maka hukumnya haram, termasuk bagi laki-laki. Assabab fi hukmil musabbab, kaidahnya. Tapi, jika belajar nulis untuk bisnis atau untuk ilmu pengetahuan maka hukumnya sama dengan tujuannya. (Musthafa Helmy, ed: Nashih)