JAKARTA – Heboh spanduk kecam praktik pelihara tuyul yang dituding menjadi biang hilangnya uang warga secara misterius di Tasikmalaya menyita perhatian.
Lebih tepatnya adalah praktik tuyul yang sangat meresahkan warga sekitar, pasalnya banyak warga yang mengeluhkan mengalami kehilangan uang dengan nominal yang beragam.
Fenomena orang memelihara tuyul untuk mendapatkan uang dalam jumlah yang fantastis bukanlah kasus yang baru.
Ini erat kaitannya dengan praktik perdukunan yang memang dilakukan sekelompok orang. Lantas bagaimana Islam memandang praktik perdukunan?
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa terkait hal-hal terebut yang dirangkum dalam fatwa tentang Perdukunan (Kahanah) dan Peramalan (‘Irafah) pada 2005 lalu.
Fatwa tersebut dibuat karena pada saat itu semakin banyak praktik perdukunan (kahanah) dan peramalan (‘irafah) di masyarakat, sehingga hal tersebut meresahkan umat dan dapat membawa masyarakat kepada perbuatan syirik (menyekutukan Allah), bahkan paling fatalnya hingga dosa-dosanya tidak diampuni Allah SWT.
Menanggapi kasus tersebut, Majelis Ulama Indoenesia (MUI) secara tegas menghukumi praktik tersebut adalah haram. Pengharaman itu sesuai dengan fatwa MUI Nomor: 2/MUNAS VII/MUI/6/2005 Tentang Perdukunan (Kahanah) dan Peramalan (‘Irafah).
Fatwa tersebut diputuskan pada saat Munas MUI ke-7 di Jakarta pada 28 Juli 2005 M yang ditandangani oleh ketua komisi fatwa saat itu, KH Maruf Amin dan Drs Hasanuddin, MAg selaku sekretarisnya. Dalam fatwa tersebut memutuskan :
- Segala bentuk praktik perdukunan (kahanah) dan peramalan
(‘iraafah) hukumnya haram - Mempublikasikan praktik perdukunan (kahanah) dan peramalan
(‘iraafah) dalam bentuk apapun hukumnya haram - Memanfaatkan, menggunakan dan/atau mempercayai segala
praktik perdukunan (kahanah) dan peramalan (‘iraafah)
hukumnya haram.
Fatwa tersebut diharapkan dapat menjaga kemurnian tauhid dan menghindarkan masyarakat dari aktivitas yang dapat membawa pada kemusyrikan, serta dapat untuk dijadikan pedoman oleh seluruh umat.
Selain dari fatwa yang dikeluarkan MUI, penghukuman haram bagi orang-orang yang pergi ke dukun dan peramal juga telah ditegaskan Allah SWT dalam surat An Nisa ayat 48 :
اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۚ وَمَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدِ افْتَرٰٓى اِثْمًا عَظِيْمًا
Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar.”
Sementara itu, dalil pelarangan yang berasal dari hadits Nabi SAW adalah sebagai berikut:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً “Orang yang mendatangi tukang ramal (paranormal) kemudian ia bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka shalatnya tidak diterima selama 40 malam.” (Hadis Riwayat Imam Muslim dan Imam Ahmad dari sebagian istri Nabi [Hafshah]).
مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ “Orang yang mendatangi dukun atau tukang ramal, kemudian membenarkan apa yang dikatakannya maka orang tersebut telah kufur terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muhammad SAW.” (Hadits Riwayat Imam Ahmad dan al-Hakim dari Abu Hurairah) (Dhea Oktaviana, ed: Nashih).